GENERASI HINDU
Kamis, 15 Juni 2017
Etika dan Moralitas dalam wisnu purana
NAMA
: IGEDE AUGUST KESUMA WIJAYA
NIM : 14.1.1.1.1054
Etika dan Moralitas dalam wisnu purana
Dasar etika dan moralitas Hindu
adalah keyakinan yang mendalam terhadap kelahiran kembali atau perpindahan roh
yang merupakan rangkaian dari ajaran karma, yang menurut ajaran ini setiap
perbuatan baik atau buruk akan memperoleh pahala, tidak hanya surge tetapi juga
neraka.
Berkontemplasi
dapat diartikan sebagai upaya untuk merenungkan secara mendalam dengan
kebulatan penuh tentang hakekat seusatu hal. Dalam konteks ini, tentu
merenungkan secara mendalam nilai yang terkandung dalam penggalan kisah Itihasa
dan Purana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Berkaca pada
karakter anak-anak suputra itu, kita dihadapkan pada persoalan idealisme dalam
penerapan ajaran yang terkandung di dalamnya. Itihasa merupakan kitab sejarah,
sedangkan Purana didominasi oleh mitologi untuk menyampaikan ajaran agama
Hindu. Saraswati ( 2009: 251) menyatakan bahwa Purana dapat dikatakan sebagai
“Kaca Pembesar” dari Veda karena kitab-kitab tersebut memperbesar citra-citra
kecil menjadi gambar-gambar besar. Ajaran Veda yang tercantum dalam
pernyataan-pernyataan kecil diperbesar dan dielaborasi dalam bentuk cerita atau
anekdot di dalam Purana.
“Dalam Visnu Purana dikisahkan seorang Raja
Bharata penganut Visnu yang sangat setia dan saleh. Pada suatu hari ia mandi di
sungai, ketika ia sedang mandi ada seekor kijang yang sedang hamil dating dari
hutan belantara pada saat yang sama raungan lantang seekor singa terdengar
menggelegar di tempat itu sehingga membuat kijang ketakutan dan meloncat sangat
kuat akibatnya bayi yang dikandungnya lahir dan ia sendiri mati. Bharata
mengambil anak kijang itu dan membesarkannya ditempat pertapaan. Semenjak
memelihara anak kijang itu perhatiannya hanya kepadanya, satu-satunya yang
dipikirkan adalah anak kijang itu dan tidak perduli terhadap orang lain. Ketika
akhirnya sang Barata meninggal dunia, karena selalu memikirkan anak kijang ia
pun terlahir kembali berwujud seekor kijang. Didalam kehidupannya sebagai
menjangan dia juga tetap menyembah Sang Hyang Visnu dan mengabdikan dirinya
dengan latihan-latihan spiritual dan melakukan pertobatan. Hingga pada
kelahiran berikutnya, ia terlahir kembali sebagai seorang putra brahmana yang
saleh”.
Adapun
pelajaran yang kita dapat petik dari cerita diatas adalah apapun yang kita
tanam, itu pula yang akan kita tuai, selain itu perbuatan yang kita lakukan
akan menentukan masa depan keturuna kita, seperti dalam cerita di atas. Demikian ajaran moralitas yang
bersumber pada ajaran agama, keyakinan tentang karmaphala, baik dan buruk, dan
usaha dalam membebaskan diri dari hukum karma pala. Semasih hidup di dunia
berbuatlah dengan berbuat yang bisa membantu untuk terhindar dari hukum karma
pala, seperti melakukan ajaran agama, mengamalkan ajaran weda dan bisa
mengendalikan napsu keduniawian.
Rama dilukiskan dalam kalimat singkat
“Maryadapurusottama” yakni seseorang yang memiliki kebajikan, semua sifat-sifat
mulia yang memancar dari pribadinya (Titib, 2011: 152). Sri Rama adalah
personifikasi dari kebenaran, kemuliaan, kebaikan, kerendahan hati, dan
keberanian. Sebagai seorang putra dari raja yang mulia dan baik, ia
mengorbankan kehidupan pribadinya untuk membantu ayahnya memenuhi janjinya
kepada istrinya Kekayi. Setelah kepergian Rama ke hutan, Dasaratha semakin
menderita hingga ajal menjemputnya. Itu tidak lepas dari perbuatannya di masa
lalu ketika ia tidak sengaja membunuh seorang pertapa muda bernama Sravana
Kumara. Ia membunuhnya karena mengira ada seekor gajah sedang minum air di
sebuah telaga, yang tidak lain adalah pertapa muda itu. Ia dikutuk oleh ayah
pertapa itu bahwa ia juga akan mati dengan cara yang sama yakni berpisah dengan
anaknya.
Adapun pelajaran yang kita dapat petik dari cerita diatas
adalah apapun yang kita perbuat itu yang kita tuai, bahwa perbuatan yang kita
lakukan baik buruknya akan kembali kepada kita, baik yang kita perbuat baik
juga kita petik, jika buruk perbuatan yang dilakaukan buruk pula yang di petik.
Sravana
Kumara adalah sosok anak suputra. Kedua orang tuanya yang buta menggantungkan
hidup mereka kepadanya. Ia menggendong kedua orangtuanya kemanapun mereka ingin
pergi, mengunjungi tempat suci dan sebagainya. Hingga kedua orangtuanya memilih
untuk mati ketika tau anak kesayangannya telah tewas di tangan Dasaratha.
Kisah itu memberikan kita gambaran kesetiaan
dan pengabdian serta bhakti seorang anak kepada orangtuanya yang buta. Ia sama
sekali tidak menelantarkan orangtuanya, bahkan mengabdikan seluruh hidupnya
demi orangtuanya.Karakter itulah yang patut diteladani. Terpenting adalah peran
orangtua menyampaikan ajaran penuh makna ini kepada anak-anak mereka, karena
keluarga adalah pondasi dari pendidikan karakter yang baik.
2. atur
Purusartha
Dalam kitab-kitab Purana juga
dibahas mengenai 4 tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Arha terdiri
dari Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Dharma sebagai dasar yang kuat dalam
ajaran Agama Hindu diulas dalam kitab-kitab Purana. Semua perbuatan baik atau
buruk menghasilkan pahala baik dan buruk pula. Semua perbuatan tetunya harus
didasarkan pada Dharma itu sendiri agar mendapat pahala yang baik pula, karena
di dalam kitab-kitab Purana banyak diuraikan tentang jenis dosa dan hukumannya
yang mengerikan. Dalam Visnu Purana tidak ada menjelaskan tentang artha dan
kama. Moksa sebagai tujuan terakhir dari Umat Hindu khususnya, sebagai bentuk
penyatuan atman dengan paramatman atau Brahman.moksa adalah pembebasan untuk
mencapai kebahagiaan sejati atau satcitananda. Ada dua jalan menuju pembebasan
ini yaitu melaui yoga atau pertaaan sempurna dan melalui jalan bhakti atau
cinta kasih yang murni. Dalam Visnu Purana banyak menguraiakan tentang ajran
yoga tersebut. “Kekuatan apapun yang aku miliki ayah, adalah bukan hasil dari
ritus-ritus gaib, bukan pula bisa dipisahkan dari sifat-sifatku, ia tidak lebih
dari kekuatan yang dimiliki oleh semua yang dalam hatinya bertempat Acyuta
(nama lain dari Sang Hyang Visnu). Dia yang bermeditasi, tidak berbuat salah
terhdap orang-orang lain, tetapi menganggap mereka sebagai dirinya, bebas dari
segala pahala dosa, yang menimbulkan kepedihan kepada orang-orang lain, dengan
perbuatan, pikiran, atau ucapan, menaburkan benih kebajikan pada kelahiran yang
akan datang, dan buahnya yang dinantikan adalah kebahagiaan”.
3. Catur Varna
Seperti halnya Purusa Sukta Rgveda
yang menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan anatomi masyarakat
profesi yang dikenal dengan Catur Varna, maka dalam kitab Visnu Purana juga
dijelaskan mengenai hal tersebut. Dalam Visnu Purana menjelaskan tentang Catur
Warna yang diciptaka pleh Brahma yaitu Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra
serta menyerahkan tugas, kewajiban dan prosedur hukum kepadanya. Dalam visnu
Purana dijelaskan bahwa Brahma telah siap sedia melaksanakan ciptaan,
mengkonsentrasikan pikiran kepada Paramatma. Pertama yang lahir dari wajahnya
adalah manusia dengan kelebihan pada keluhuran budi pekertinya, kemudian diberi
nama Brahmana. Selanjutnya muncul dari dadanya manusia yang memiliki
sifat-sifat yang menonjol dalam kepahlawanan dan militansi dan diberi nama
Ksatrya oleh Brahma. Kemudian dari pahanya lahir manusia dengan sifat rajas dan
tamas nya sama-sama dominan, kemudian diberi nama Vaisya dan akhirnya dari kaki
Brahma muncul manusia dengan sifat-sifat tamas dan kepadanya diberi nama Sudra.
Demikianlah keepat profesi tersebut sudah memiliki tugas dan kewjiban
masing-masing, yaitu Brahmana sebagai pemimpin upacara yadnya, mempelajari
kitab suci dan menyebarkan ajarannya, Ksatrya sebagai pembela negara, berada di
garda depanketika terjadi peperangan, Vaisya sebagai pedagang, dan Sudra
yangbertugas melayani ketiga golongan tersebut.
4. Catur Asrama
Dalam Visnu Purana juga dijelaskan
tentang empat tingkatan kehidupa, yang pertama adalah Brahmacarya (masa
belajar). Setelah seseorang telah ditasbihkan dengan benang suci maka ia hrus
dkirim ke pertapaan guru dan mempelajari Veda. Setiap pagi dan sore melakukan
pemujaan terhadap Surya dan Agni dan kepada gurunya. Tidak menentang guru dan
mengikuti nasehatnya. Setiap pagi membawakan air dan bunga untuk gurunya.
Diakhir masa belajarnya murid harus membayar daksina (balas jasa) kepada
gurunya lalu meminta ijin untuk menempuh hidup baru (grhasta). Grhasta adalah
waktu untuk menikah dan memilih hidup yang layak. Mereka harus melayani dewa
dengan melakukan upacara persembahan, melayani tamu dengan hidangan, para rsi
dengan mempelajari Veda, Brahma melalui keturunan dan melayani seluruh dunia
dengan kejujuran. Setelah seseorang hidup dalam masa grhasta, maka ia bisa
melanjutkan pada tingkat selanjutnya yaitu tahap tinggal di hutan sebagai
seorang Vanaprastha. Pergi membawa istrinya atau meninggalkannya pada
pengawasan keturunannya. Ia hidup dengan memakan buah-buahan, umbi-umbian,
serta dedaunan. Tidur di tanah beralaskan tikar tanpa memotong rambut, jenggot
dan kuku. Hanya memuja dewa dan melakukan perenungan. Tahap yang terakhir
adalah Sannyasa. Seseorang yang memasuki tahap ini apabila telah mampu
melepaskan diri dari ikatan anak, istri dan harta. Tinggal sendirian dan
melakukan yoga dan tidak boleh tinggal didesa dan dikota lebih dari 1 hari.
Hidup dengan meminta sedekah makanan ke sebuah rumah asalkan ia tahu bahwa
seisi rumah telah makan.
Jumat, 09 Juni 2017
makalah orang suci
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Mengamalkan ajaran dalam kehidupan didunia
ini didukung oleh beberapa unsur seperti kitab suci, hari suci keagamaan, orang
– orang suci dan tempat suci. Semua unsur/komponen tersebut saling berkaitan
dalam membina kehidupan beragama. Pendalaman dan penghayatan agama tidak hanya
dapat dilakukan dengan mempelajari ajarannya saja, atau melaksanakan ibadahnya
saja ditempat – tempat suci, namun diperlukan orang – orang suci, orang – orang
bijaksana untuk menuntun, membimbing, agar tidak terlalu jauh menyimpang dari
hakikat ajaran agama Hindu.
Peraturan dalam agama hindu menegaskan
bahwa yang mempunyai kewenangan untuk memimpin suatu Yajna Adalah orang suci /
orang bijaksana, yang dalam hidupnya telah melakukan peenyucian lahir dan batin
melalui suatu upacara padiksan dan
pawintenan. Orang yang telah melakukan upacara padiksan dan pawintenan itu dissebut pandita dan pinandita.
Orang – orang suci agama hindu (Pandita
- Pinandita) sangat besar perannya dalam kehidupan beragama, dijelaskan dalam
pembahasannya meliputi pengertian orang suci dalam agama hindu (Pandita -
Pinandita), sasana dan wewenang orang suci dalam agama hindu (Pandita -
Pinandita), dan sekulas riwayat singkat orang – orang suci dalam agama hindu di
Indonesia.
Orang – orang suci dalam agama hindu
sangat besar dan penting perannya dalam kehidupan beragama, membinana umat dan
sebagainya. Sejarah agama hindupun telah membuktikan bagaimana peranan para
orang – orang suci hindu pada zaman dulu didalam menyebarkan agama hindu,
didalam membina kehidupan keagamaan di tengah – tengah masyarakat, dan
meneruskan ajaran – ajaran tersebut pada masa berikutnya. Agama hindu yang
mendassarkan ajarannya pada pustaka suci Veda,
dalam sejarahnya mulai berkembang dilembah sungai Sindu, India. Dilembah
sungai inilah salah satu contoh peranan orang – orang Suci Hindu, yakni Rsi
Bhagawan Wyasa menerima wahyu dan Ida Sanghyang Widhi Wasa yang kemudian
mengabadikan ajaran tersebut dalam bentuk pustaka suci.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah yaitu sebagai berikut :
1.2.1 Pengertian Orang Suci (Pandita dan
Pinandita)
1.2.2 Sasana dan Wewenang Orang Suci (Pandita dan
Pinandita)
1.2.3 Riwayat Singkat Orang Suci Agama Hindu
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan
latar belakang dan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah
ini yaitu sebagai berikut :
1.3.1
Untuk Mengetahui Pengertian dari Orang Suci (Pandita - Pinandita)
1.3.2 Untuk
Mengetahui Sasana dan Wewenang Orang Suci
1.3.3
Untuk Mengetahui Riwayat Singkat Orang Suci Agama Hindu
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Orang Suci (Pandita - Pinandita)
Semua agama yang ada di Indonesia
mempunyai orang suci, orang suci tersebut mampu dan berwenang untuk memimpin
umat dan memimpin suatu upacara religi. Orang Suci adalah manusia yang
memiliki mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani, serta mempunyai
kepekaan untuk menerina getaran-getaran gaib, dalam penampilannya dapat
mewujudkan ketenangan dan penuh welas asih yang di sertai kemurnian lahir dan
batin dalam mengamalkan ajaran agama, tidak terpengaruh oleh gelombang hidup
suka dan duka.
Didalam kitab suci, Para orang suci
hindu disebut Sadhu, Sants, Mahant, atau Bhagavata. Mereka yang mengajarkan
pengetahuan keinsafan rohani kepada masyarakat luas juga disebut guru atau
Acharya. Orang suci adalah juga Pandita dan Pinandita. Berdasarkan sifat yang khas
dapat disebutkan karena kesaktiannya dan kemujizatannya, kesucian perbuatanya
serta idealismenya yang demikian patuh pada fungsinya menyebabkan mereka
menjadi orang suci. Ciri seperti itu adalah indikator sebagai orang suci, juga
ciri lainya, yaitu kemampuan menggubah ayat – ayat suci (sloka – sloka suci)
Veda. Ciri dan indikator tesebut menandakan bahwa orang
suci dalam agama hindu mempunyai gelar dan fungsi yang berbeda didalam
kehidupan keagamaan. Kemampuan dan ciri lainya orang suci memiliki sifat – sifat
tertentu, termasuk juga jabatan – jabatan tertentu.
Sebagai umat hindu kita wajib
memberikan penghargaan kepada para orang suci tersebut, sehubungan dengan hal
itu, wujud penghargaan dan rasa hormat tersebut diantaranya tetuangg dalam
ajaran catur guru (guru bakti) mengkhususkan pada guru pengajian, pada ajaran
Panca Yajna (lima kurban) yaitu Rsi Yajna (kurban suci kepada para Rsi) dan
sebagai realisasi dari ajaran Tri Rna (tiga hutang) yakni pada Rsi Rna (Hutang
Kepada Para Rsi). Orang orang suci yang
berjasa dan mengembangkan ajaran agama hindu dapat disebutkan mempunyai
beberapa gelar dan fungsi dari orang –orang suci tersebut. Didalam kitab Reg Veda dan kitab – kitab Sruti dan Smerti menyebutkan beberapa gelar yang tergolong orang suci,
diantaranya adalah : Rsi atau Maha Rsi, Brahmana, Hotar (Hetri), Udgatri,
Purohita, Acarya atau Mahacarya, Bhatari atau Bhatara dan yang lainya.
Semua gelar itu paling banyak disebut -
sebut adalah Rsi atau Maha Rsi. Kitab sruti tidak menjelaskan arti “Rsi” itu
kecuali menyebutkan gelar penerima wahyu ataupenggubah mantra – mantra yang
terdapat dalam sruti itu. Disana sini nama Rsi dikaitkan dengan nama keluarga
dan keturunannya sehingga mantra – mantra itu kadang – kadang menjadi sumber
informasi mengenai sejarah atau silsilah para Rsi yang dikaitkan dengan
permulaan penciptaan alam semesta.
Kitab Purana, seperti Agni Purana
secara etimologi menjelaskan arti kata Rsi dan dan arti kata (V) R yang berarti
suara. Istilah inidisarkan pada pengertian analogi yang menganggap bahwa Rsi
sebagai penerima dan kemudian menyampaikan suara yang diterima dari Tuhan
sebagai Wahyu. Veda menyebutkan ada banyak nama – nama Rsi yang terkenal
sebagai pemikir dalam ajaran agama hindu. Rsi – Rsi itu diantaranya Wiswamitra, Wyasa, Kanwa, Agastya, Walmiki
dan lain – lain.
Menurut ilmu bahasa kata Rsi berasal
dari akar kata “R” yang berarti “suara gaib” yang kemudian berarti “Wahyu”
(Revolusi). Semua mantra merupakan “wahyu” sruti sehingga para Rsi yang
kedudukanya sebagai penerima wahyu, dikenal dengan Sruta Rsi. Ia juga disebut
Satya Rsi karena suara – suara yang disampaikan berasal dari Tuhan Yang Maha
Besar, Satya yang berarti kebenaran absolut. Oleh karena itu Rsi yang dalam
fungsinya menerima maka para Rsi itupun secara fungsional berkewjiban sebagai :
memahami suara, menyampaikan apa yang didengarkan, menulis apa yang didengar
dan dimengerti itu.
Sesuai deengan perkembangan berbagai
penguraian istilah, makin jelas bahwa perbedaan antara Rsi – Rsi itu adalah
terletak pada perbedaan kualitatif. Tidak semua Rsi sama ahlinya dan jasanya.
Karena itu dibedakan pengertian Maha Rsi dan Rsi tanpa predikat
keistimewaannya. Selain perbedaan itu, dibedakan dalam tiga kelompokan besar
yaitu : Brahma Rsi, Raja Rsi, dan Dewa Rsi. Didalam kitab Purana kelompok Rsi
dibagi atas tiga kelompok yaitu :
1.
Brhmarsi (Brahma Rsi) misalnya Wasistha
2.
Rajarsi (Raja Rsi) misalnya Wiswamitra
3.
Dewarsi (Dewa Rsi) misalnya kasyapa
Pembagian kelompok Rsi tersebut
terdapat pula pengertian lain yang kalau ditelusuri lebih jauh tidak hanya
merupakan fungsi, misalnya yang disebut satya Rsi, Sruta Rsi dan Yang lainnya,
semuanya ini disebut Maha Rsi untuk membedakan dari Rsi – Rsi yang timbul
kemudian, dan semua jenis Rsi diatas merupakan induk karena kemudian dari
kelompok – kelompok itu akhirnya berkembang berbagai jenis Rsi.
Seorang brahma Rsi pada hakikatnya
bertugas mengembangkan, mempelajari dan mengembangkan catur Veda, Dharma
sastra, Sadangga Veda, Mimansa dan Nyayasasstra. Dengan penguasaan ilmu yang
mengkhususkan dalam bidang itu maka sifat dan fungsinya sebagai maha Rsi dapat
dipertahankan. Ini tidak berarti kelompok kedua Rsi lainya dapat mengabaikanya,
melainkan cukup bila mereka tau walaupun tidak terlalu mendalami sekali.
Kelompok kedua Raja Rsi juga berasal
dari brahma Rsi. Raja Rsi diberikan tugas untuk memelihara dunia, dalam artian
usahanya memberikan perlindungan , memerintah sebagai kepala negara, maka
kedudukan mereka tidak lagi sebagai brahma Rsi tetapi menjadi raja Rsi.
Ada juga yang disebut dengan dewa Rsi.
Kelompok ini juga berasal juga dari berahma Rsi, hanya saja kemudian berfungsi
untuk menjadi pengaruh para dewa. Dewa Rsi yang terkenal antara lain adalah
Narada dan parwata. Secara mertologis juga dikemukaan bahwa yang disebut dengan
dewa Rsi adalah Rsi yang karena kelahiranya berasal dari kelompok dewa-dewa.
Sebagai contohnya adalah Narayana. Semua para maha Rsi itu berkewajiban untuk
membertahankan sifat keresianya. Sifat-sifat itu meliputi: dirghayusa (panjang
umur), matikerti(mampu melaksanakan keingginan), siddaiswarya (sempurna sejak
dalam kandungan), Diwya caksu (mampu mengetahui jauh atau dekat, masa dulu
maupun masa yang akan datatang), Prtyaksa darmanah (menjadi karena pengetahuan
prakyaksa pengetahuan langsung), Gotraprawartaka (mempunyai keturunan),
Satkarmanirala (tidak terhalang melakukan yadnya). Silinah (berpegang teguh
dengan kesusilaan) , Cramedina (gemar dalam tugas rumah tangga dan tidak takut
pada makan sedarhana).
Jika kesembilan tugas itu dipegang
dengan tegguh dan dilaksanakan oleh seorang Rrsi maka ia dapat mempertahankan
sifat ke-rsinnya. Dan itu pula menyebabkan ia dikenal terus menerus sebagai
seorang maha rsi. Hal itu pula menjadi latar belang seorang yang telah didiksa
atau diwinten menjadi rsi atau menjadi orang suci harus berpegang teguh kepada
brata (pantangan-pantangan) yang diwajibkan. Pantangan tau brata itu adalah
suwatu kewajiban dalam usaha untuk mengembangkan kesusilaan dan kekuatan
batinya agar tetap mampu memelihara kesucin baik lahir maupun batin ataupun
kesucian pikiran, perbuatan dan upacara.
Kitab Brahma Purana, menyebutkan
kelompok dan jenis Rsi secara lebih terperinci antara lain:
1.
Rsi diwilayah timur yaitu: Wiswamitra, Yawakrta, Raibhya, Kanwa dan Gangga.
Penunjukan wilayah timur, mungkin bagian darin india timur seperti daerah
banggala, yang nama-namanya tersebar sampai keindonesia yaitu Wiswamitra dan
kanwa.
2.
Rsi diwilayah selatan: Dattatreya, Namuci, Pramuci, Walmiki, Soma, Kimdu dan
Agastia. Penunjukan wilayah selatan diantaranya daerah dekkan samapai pada
ujung pantai selatan. Hubungan indonesia denggan india selatan sangat banyak
pada jaman prasejarah itu , tidak mengherankan kalau nama-nama seperti Agastia
dan Walmiki sangat terkenal diindonesia.
3.
Rsi diwilaha barat yaitu : Kamnya, Kawisa, Wrsango, Narada, Wama Dewa, Sambari
Atrawaktra, Suka, Bhrgu, Lomasa dan Mudgalya. Dari daerah wilayah banal ada
kaitanya dengan penyebaran Kafilah dan daerah Hindu dengan membawa nama Bagawan
Bhrgu dengan penyebaran utama di wilayah sumatra. Wilayah barat ini sebagai
wilayah penyebaran Mahabhrata, karenanya terbawa pula nama-nama Rsi terkemuka
di Mahabhrata.
4.
Rsi diwilayah utara yaitu: Kasyapa , Wasista, Atri, Gautama, Yamadakni,
Bharatwaja dan sanaka. Dari semua nama itu yang banyak berhubungan dengan
penyebaran agama Hindu diindonesia adalah Kasyapa, Wasista, Gautama dam Rsi
Bharatwaja. Penyebaran ke indonesia bersamaan pula dengan penyebaran melalui
wilayah timur maupun selatan sebagai dua arus jalan penyebaran agama Hindu.
Disamping pengelompokan resmi menurut
wilayah atau daerah, dapat pula dikelompokan menurut kedudukan atau fungsinya
yaitu: Srula Rsi, Salya Rsi, Brahma Rsi, Dewa Rsi, Tapa Rsi dan raja Rsi. Ada
empat sifat yang menyebabkan Rsi penting artinya bagi kehidupan umat Hindu
yaitu:
1.
Widya atau ilmu
2.
Satya atau kejujuran , kebenaran.
3.
Tapa atau pengendalian diri.
4.
Sruta atau penerimaan wahyu.
Keempat sifat ini memperluas fungsi dan
kedudukanya dalam perkembangan kehidupan dan pembinaan umat hindu. Pekembangan
selanjutnya terutama pada dekade pembangunan sekarang ini baik diindonesia atau
pun di Bali pengertian Orang Suci dipegunakan Pandita dan Pinandita.
Pandita dalam bahasa sangsekerta
berarti orang pandai, cendikiawan, bijakssana, sarjana, sujana, pendeta. Yang
dimaksud dengan pandita adalah pendeta, seorang rohaniawan hindu yang telah
madwijati melalui upacara diksa. Dwijati adalah lahir dua kali pertama lahir
atau dilahirkan dari seorang ibu. Dan
kedua dilahirkan pula dan diakui anak oleh seorang guru pengajian (nabhe).
Sedangkan Diksa adalah penyucian seorang welaka menjadi Pandita. Upacara
penyucian ini selain ritual ada juga ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan olah
PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia). Pandita dibali sering disebut dengan
sulinggih, memiliki brata-brata tertentu untuk melaksanakan yang patut di
taatinya dalam hidupnya.
Upacara Diksa bukan lah sekedar
merupakan upacara perubahan status belaka dari seorang walaka menjadi
sulinggih. Di dalam upacara itu terkandung makna yang medalam mennai hubungan
batin antara guru nabhe dengan sisyanya (calon diksita). Upacara diksita
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan diri dari pase kehidupan yang
belum sempurna menuju kehidupan baru dalam dunia yang lebih sempurna. Pada
kenyataanya orang yang telah didwijati diberikan bebaagai sebutan tergantung
ada ketentuan keluarga dan wangsanya. Ada yang disebut dengan Pedande, Rsi ,
Bagawan, Bujangga, Empu dan Dukuh. Semua dwijati itu memiliki kedudukan sejajar
dalam pandangan agama hindu. Keseluruhanya termasuk Pandita karena semua gelar
dwijati itu baru boleh dipakai setelah melalui proses upacara Diksa. Didalam
yajur weda XX, 25 di uraikan tentang diksa itu sebagai beikut:
Dengan
melaksanakan brata seseorang akan memperoleh diksa, dengan melakukan diksa,
seseorang akan memperoleh daksina, dengan daksina seseorang melaksanakan
sraddah, dan dengan sraddah seseorang akan memperoleh satya.
Brata
adalah suatu janji diri untuk melaksanakan pantangan – pantangan keagamaan agar
mendapat kesucian rohani. Diksa artinya telah memperroleh kesucian atau
Dwijati. Daksina adalah pendapatan yang suci karena didapatkan dari perbuatan
yang suci dan terhormat. Sraddha artinya keyakinan atau keikhlasan untuk
mengabdi kepada Ide Sanghyang Widhi Wasa. Satya artinya kebenaran tertinggi.
Berbeda
dengan Pandita, Pinandita adalah seorang rohaniawan hindu tingkat Ekajati.
Seorang calon Pinandita tidak didiksa melainkan diwinten. Dengan demikian
statusnya berbeda dengan Pandita. Pada umumnya seseorang yang telah melakukan
upacara Pawintenan memiliki sebutan
tertentu, untuk dibali disebut dengan Pemanggku. Pemangku adalah Rohaniawan
hindu yang tergolong pada tingkatan ekajati. Ekajati dalam bahasa Sansekerta berarti
hanya lahir sekali. Lahir atau dilahirkan dari kandungan ibu.
2.2 Syarat-syarat
Orang Suci
Dalam ajaran Weda untuk menjadi Orang suci,
ada empat syarat yang mesti dimiliki yaitu:
a) Widya adalah memiliki ilmu
pengetahuan dan kerohanian (Apara Widya dan Para Widya)
b) Satya adalah memiliki sifat jujur
dan memegang teguh kebenaran
c) Tapa adalah mampu mengendalikan diri
dari segala godaan nafsu
d) Sruta adalah mampu menerima
getaran-getaran suci (wahyu)
2.3 Ciri-ciri Orang Suci
Ada
beberapa macam tingkah laku atau sifat-sifat para Rsi atau orang suci yang menjadi pedoman hidup
manusia yang di sebut “Dasa
Paramartha” yaitu:
a) Niskalam, artanya tidak berubah.
b) Nirupam, artinya tidak berwarna.
c) Cantam, artinya damai.
d) Durlabham, artinya berbuat tidak
hanya untuk kepentingan diri sendiri,
e) Param, artinya berbadan dunia.
f) Nirpraham, artinya tanpa
mengharapkan apa-apa.
g) Nirakaram, artinya tidak mengambil
apa-apa, tidak berbohong.
h) Padamoksam, artinya moksa.
i)
Urdustyutwa,
artinya paling tinggi.
j)
Niraksalam,
artinya melebihi segalanya, tidak menggambarkan jasa dan kemuliaannya.
2.4 Kedudukan dan Fungsi Orang Suci
Di
samping hal tersebut dapat juga melalui proses sakral yang di sebut “Dwijati” artinya lahir kedua kali.
Lahir yang pertama melalui rahim seorang ibu dan ynag kedua melalui proses
sakralisasi dan proses pembelajara melalui seorang guru kerohanian (Nabe) yang
mengajarkan Weda. Ada juga di sebut “Mediksa”
artinya upacara penyucian seorang walaka menjadi pandita atau sulinggih.
Orang-orang suci memiliki kedudukan khusus dan terhormat dalam masyarakat
hindu. Masyarakat hindu menyebutnya “Sulinggih”.
“Su” artinya mulia atau utma dan “Ling” artinya kedudukan. Jadi, sulinggih artinya kedudukan utama
atau mulia.
Di
dalam Kitab Weda Sruti dan Smerti di sebutkan beberapa gelar untuk orang suci
yang sesuai dengan keahliannya yaitu:
a)
Pendeta
adalah gelar orang suci dari brahmana wangsa, bliau telah di dwijati atau di
diksa.
b)
Dang
Hyang adalah gelar orang suci dari brahmana wangsa yang berperan menjadi Maha
Guru sperti Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Dwijendra.
c)
Rsi atau Bhagawadgita adalah gelar orang suci dari wangsa
ksatriayang menjadi penyebar dan penentu ajaran agama.
d)
Mpu adalah gelar orang suci dari waisya wangsa yang bertugas
memimpin upacara bhuta yadnya.
e)
Pinandita
atau pemangku adalah orang suci yang luang lingkupnya terbatas dan penyuciannya
melalui upacara “ekajati”
f)
Wasi adalah sejenis pemangku dari umat hindu di jawa.
g)
Dan
beliau inilah yang memiliki tugas-tugas sesuai dengan fungsinya, yaitu:
Bertugas memimpin pelaksanaan
Upacara atau Upakara keagamaan dan member petunjuk
cara-cara pembuatan banten.
Memberi Upanisad
2.3 Sasana dan Wewenang Orang Suci
(Pandita dan Pinandita)
Seseorang yang
telah didiksa, maka ia berstatus sebagai orang suci atau dibali sering disebut
sulinggih. Diberi gelar sesuai dengan wangsanya atau keturunannya dan mempunyai
wewenang ngelokapalacraya. Sebelum puncak acara diksitadilakukan , terlebih
dahulu seorang calon harus mempersiapkan diri lahir dan batin. Diantara
persiapan itu adalah melakukan vedadyana dan vedaraksana yaitu mempelajari veda
dan menjaga veda. Disamping itu juga melakukan tirtayatra kepura – pura
Kahyangan Jagad dan Dang Kahyangan untuk menyucikan diri.
Secara
Resmi calon diksita itu diuji oleh penguji Parisada Hindu Dharma Indonesia
mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan umum lainnya yang akan menunjang
tugas – tugas Diksita nanti. Proses diksita berikutnya dilakukan oleh tiga
orang guru yang kesemuanya adalah Pandita yang cukup senior, baik pengalaman,
usia ataupun penguasaannya pada agama. Ketiga Pandita itu adalah Guru Nabhe,
yaitu pandita yang akan memimpin dan bertnggungbjawab tehadap proses pendiksaan
itu. Guru nabhe inilah yang akan napak calon diksita sehingga menjadi dwijati
ataupun pandita guru. Yang kedua adalah guru Wakira yang mengajar calon diksita
tentang segala ilmu pengetahuan, yang harus dikuasai oleh seorang diksita. Guru
yang ketiga adalah guru saksi, yaitu pandita yang bertugas sebagai saksi
tentang segala proses pandiksitaan. Pentingnya guru saksi ini adalah untuk
benar – benar menjadi saksi bahwa segala proses pendiksaan, yang dipimpin pleh
guru nabhe berjalan sesuai sastra dan ketentuan – ketentuan yang berlaku untuk
itu. Guru saksi juga wajib mengetahui segala proses belajar yang diberikan oleh
guru waktra.
Ada
empat kegiatan Yang paling penting diketahui yang juga merupakan bagian dari
proses diksita yaitu sebagai berikut :
dilakukannya kegiatan amati
raga, amati aran, amati sasana dan amati wesa oleh calon diksita.
1.
Amati raga yang dimaksud adalah secara simbolis calon diksita dianggap
dilepaskan badan kasarnya dan kemudian akan lahir kembali sebagai dwijati
dengan badan yang baru.
2.
Amati aran artinya bahwa dalam upacara diksa ini calon diksita mengganti nama
welakanya dengan nama sulinggihnya. Hal ini juga dari proses lahir yang kedua
tentu dibarengi dengan nama baru. Misal namanya Ida Bagus Putra, setelah
melalui upacara diksa namanya menjadi Ide Pedanda Ngurah.
3.
Amati sasana artinya sasana sewaktu welaka tidak boleh dilakukan lagi setelah
menjadi sulinggih. Misalnya waktu welaka boleh melakukan jual beli atau
kegiatan ekonomi, tetapi setelah menjadi sulinggih kegiatan tersebut tidak
boleh lagidilakukan.
4.
Amati wesa artinya, atribut waktu welaka diganti dengan atribut sulinggih.
Misalnya, busana welaka harus diganti dengan busana sulinggih. Tidak hanya
pakean melainkan perilaku, sikap, termasuk warna pakean, yang mengarah pada
kesucian.
Calon diksita harus berumur berkisar
antara 40 sampai 60 tahun. Puncak upacara padiksan adalah calon diksita
“ditapak” oleh guru Nabhe dengan meletakan telapak kaki nabhe diatas kelapa
calon diksita, usai upacara penapakan selanjutnya calon diksita resmi
menjad “Dwijati atau Pandita” setelah
itu yang bersangkutan berhak untuk melakukan ke alam lokapalasraya, untuk
melakukan hal ini dilakukan pula upacara beberapa hari setelah upacara diksa.
Upcara lokapalasraya pertama kali dilakukan dengan upacara ngalinggihang “Veda”
bertempat pamerajan diksita dan disaksika oleh guru waktra dengan gumi saksi.
Setelah itu dilanjutkan tirtayatra kepura – pura Padarman yang berangkutan.
Dengan selesainya upacara ngalinggihang Veda sulinggih yang bersangkutan sudah
boleh melaksanakan lokapalasraya seperti : nibakang dewasa (memberi hari baik
dan buruk kepada umat) atau muput suatu upacara yadnya.
Menjadi seorang sulinggih, calon
diksita harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditetapkan yaitu sebagai berikut
:
1.
Laki – laki yang sudah berumah tangga atau laki – laki yang nyukla brahma cari
2.
Wanita yang sudah berumah tangga atau wanita yang tidak kawin (kanya)
3.
Pasangan suami istri yang sah
4.
Sehat dan bersih secara lariah termasuk tidak cacat jasmani (cedangga)
5.
Sehat dan bersih secara batiniah, tidak menderita penyakit saraf atau gila
6.
Berpengetahuan luas meliputi pengetahuan umum, paham terhadap bahasa kawi,
sansekerta, indonesia, memahami masalah wariga, tattwa, sasana – sasana dan
yadnya
7.
Memiliki efiliasi sosial yang baik yakni berkelakuan baik dan bijaksana
terhadap sesama, alam dan pemerintahan serta tidak tersangkut masalah kriminal
dan supersif
8.
Lulus diksapariksa yang dinyatakan dengan surat oleh pengurus PHDI Kabupaten /
provinsi setempat
9.
Sudah mempunyai calon nabhe yang akan menyelesaikan (muput) upacara padiksa
Seorang pandita mempunyai wewenang
untuk memimpin upacara yadnya, kewenangan ini dimuat dalam lontar Bhisma parwa, Udyoga parwa, Bhomantaka, Brahsasana, dan sila krama. Dalam lontar
Udyoga parwa menyebutkan karma pandita telah memiliki ilmu kerohanian yang
sempura dan tinggi, maka beliaupun dapat menyempurnakan pihak lain seperti
melakukan dengan memimpin suatu upacara yadnya.
Dan dalam kitab Sila Krama ditekankan bahwa
para pandita hendaknya dapat menguasai dan melaksanakan ajaran yama nyama
brata, dimuat sebagai berikut :
Madatamcchenna
piweeca madyam
Pranna hinsenna
wadecca mithyam,
Prasya daran
imanasapi necched
Tah swargatnicched
grhawat prawestu
(Sarasamuccaya, 19256)
Artinya : dan lagi jangan hendaknya
mengambil kalau belum ada perjanjian, jangan engkau minum – minuman yang
memabukan, jangan melakukan pembunuhan, jangan berdusta dalam kata – kata,
jangan menginginkan istri orang lain jika bermaksud pulang kesurga.
Untuk tetap menjaga kesucian seorang
pandita harus pula memperhatikan larangan yang tidak boleh dikunjungi. Tempat – tempat yang terlarang bagi seorang
pandita, yakni tidak boleh mengunjungi orang yang mempunyai pekerjaan hina
seperti rumah tukang jagal (potong hewan), terrlebih lagi makan bersama dirumah
tukang jagal tersebut. Demikian pula seorang pandita tidak boleh duduk ditempat
perjudian, atau segala jenis permainan yang ada taruhannya, dan beberapa tempat
larangan lainya.
Antara Pandita dengan Pinandita juga
mempunyai status dan wewenang yang berbeda termasuk pula sesananya. Seorang
pinandita adalah seorang rohaniawan hindu tingkat ekajati. Kelahiran sekali
tidak didiksa melainkan diwinten. Setelah melalui upacara pawintenan, seorang
pinandita dapat menyelesaikan upacara yadnya tetentu, atau biasanya pada pura
tertentu khususnya pura yang di emongnya (menjadi tanggung jawabnya). Demikian
pula untuk upacara purnama tilem dan upacara – upacara keagamaan lainnya bisa
dan diselesaikan oleh pinandita. Pada umumnya dibali pinandita ini adalah
pemangku. Namun apabila ada upacara – upacara besar seperti upacara – upacara
padudusan Agung disebuah pura, atau melakukan tawur dan sebagainya harus
diselesaikan oleh seorang pandita, demikian pula sebagai contoh dalam upara
purnama dalam umat hindu bali, selain oleh pinandita dipuput juga oleh pandita.
Demikian juga pada upacara persembahyangan tertentu disebuah pura dapat pula
dipuput oleh pinandita (pemangku) hanya menangani salah satu tempat suci saja.
Untuk hal ini misalnya : Pemangku Pura Desa atau Pemangku Pura Dalem dan Pura
Puseh. Ketiga pemangku ini mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pura yang
diamongnya. Karena perbedaan status, sasana dan wewenang, maka persyaratan
pinandita agak lebih longgar jika dibandingkan dengan persyaratan untuk menjadi
pandita. Persyaratan yang perlu diperhatikan untuk menjadi seorang pinandita
antara lain :
1.
Laki – laki atau wanita yang sudah berumah tangga
2.
Laki – laki / wanita yang mengambil brata sukla brahma cari
3.
Pasangan suami istri
4.
Bertingkah laku yang baik dalam kehidupan sehari – hari
5.
Berhati suci dan berperilaku yang suci
6.
Taat dan melasanakan ajaran agama dengan baik
7.
Mengetahui ajaran – ajaran agama (wruh ring utpati, sthiti,pralinaning sarwa
dewa)
8.
Tidak menderita penyakit saraf atau gila
9.
Suka mempelajari/ berpengetahuan di bidang kerohanian
10. Dapat persetujuan dari masyarakat setempat
11.
Mendapat pengesahan dari PHDI setempat (Kabupaten / Provinsi)
2.3 Riwayat Singkat Orang Suci Agama
Hindu
Para Rsi dalam
agama hindu yang berhasil menerima wahyu dari Ide Sanghyang Widhi Wasa penting
diketahui oleh generasi pewaris Agama Hindu, dan berikut akan diuraikan tentang
ketujuh Para Maha Rsi yang menerima wahyu dari Ide Sanghyang Widhi Wasa antara
lain :
1.
Grtsamada, tentang sejarah kehidupan maha Rsi Grtsamada tidak banyak diketahui,
namun demikian Rsi Grtsamada telah berhasil menerima wahyu (sruti) tentang ayat
– ayat suci Veda, yang kemudian dihimpunnya dalam Reg Veda terutama dalam
mandala II.
2.
Wiswamitra, Maha Rsi Wiswamitra adalah maha Rsi yang kedua menerima wahyu.
Wahyu ayat – ayat suci yang diterima itu kemuadian dihimpun dalam Reg Veda pada
mandala III. Nama maha Rsi Wiswamitra banyak disebut – sebut dalam sejarah
Agama hindu.
3. Wama
Dewa, dalam cerita disebutkan bahwa Maha Rsi Wama Dewa sejak berada dalam
kandungan ibunya telah mencapai penerapan sempurna, yaitu mampu berdialog
Dengan Deva Indra dan Aditi. Beliau juga telah menerima waahyu ayat – ayat suci
(sruti) dan menghimpunnya dalam Reg Veda pada mandala IV.
4. Atri,
maha Rsi Atri menerima wahyu Veda yang dihimpun dalam Reg Veda pada mandala V.
Sejarah dan riwayat maha Rsi Atri tidak banyak diketahui.
5.
Bhradwaja, nama Bhradwaja sebagai tokoh Maha Rsi hanya disebut – sebut dalam
Purana dan Ramayana (Ayodya Kanda) Rsi Bharadwaja adalah putra Maha Rsi Atri,
dan banyak dihubungkan dengan Riwayat Hidup Walmiki. Maha Rsi Baradwaja menerima kitab suci Veda dan kemudian
dihimpun dalam Reg Veda mandala VI. Maha Rsi ini disebutkan bersemayam
dipertapaan Citrakuta dimana Rama dan Laksamana (dalam cerita Ramayana) pernah
tinggal untuk sementara.
6.
Wasistha, Telah menerima wahyu ayat – ayat Suci Veda yang kemudian dihimpun
dalam ayat – ayat Reg Veda dalam mandala VII. Didalam cerita Mahabharata, nama
Rsi Wasistha sama terkenalnya dengan nama Maha Rsi Wiswamitra.
7. Kanwa,
Maha Rsi Kanwa merupakan maha Rsi yang ketujuh dalm menerima wahyu Veda dan
wahyuyang telah diterima kemudian dihimpun dalam ayat – ayat Reg Veda mandala
VIII. Maha rsi kanwa inilah yang ceritanya banyak disebut dalam kisah cintanya
Sakuntala. Dimana dalam kisah itu Maha Rsi Kanva yang menunggu dan memelihara
serta membesarkan bayi perempuan yang kemudian nanti diberinama Sakuntala.
Selain Sapta Rsi penerima wahyu Veda,
ada juga beberapa maha rsi yang dalam kehidupan agama Hindu dikenal dan disebut
– sebut dalam kitab suci karena peran dan jasanya diantaranya adalah :
1.
Bhagawan Bhrgu, adalah seorang Maha Rsi yang didalam kitab Purana dianggap
sebagai putra Brahma dan sebagai pendiri dari warga atau bangsa beliau yang
disebut bangsa Bhagawan.
2. Rsi
Agastya, dalam Penyebaran agama hindu Rsi Agastia adalah terkenal jasa –
jasanya. Menurut Kitab suci Purana dan Mahabharata beliau lahir dikasi
(Beranes) sebagai penganut siwa yang taaat. Beliau dikatakan sebagai pemegang
obor yang memberi penerangan suci didaerah pelosok. Beliau meninggalkan kota
Kasi menuju keselatan sebagai darmadutha menyebarkan Agama Hindu.
3.
Bhagawan Brhaspati, menurut beberapa kitab purana Bhagawan Braspati adalah
putra Bhagawan Angirasa (Angira). Bhagawan Angira terkenal sebagai orang suci,
Manasaputra itu diciptakan oleh Brahma melalui pikirannya. Nama – nama Mana
Saputra dan Dewa Brahma antara lain Marici, Bhregu, Angira, dan lain – lain.
4. Mpu
Tantular, adalah seorang Rsi yang tinggi Pribadinya dan juga seorang pujangga
besar Hindu, hasil karyanya banyak tersebar, satu diantaranya yaitu Sotasoma.
Karya ini menggambarkan bahwa Ide Sanghyang Widhi Wasa satu bukan dua,
sekalipun ada yang mengatakan Siva dan Budha. Mpu tantular adalah putra dari
Mpu Bahula, cucu dari Mpu Bharadah yang saudara kandung dengan Mpu Kuturan. Mpu
Tantular memiliki empat putra yaitu : Mpu Kanawawika, Mpu Asmaranatha, Mpu
Sidhimantra, dan Mpu Kepakisan, Mpu yang terakhir merupakan leluhur dari Dalem
Waturenggong. Kerajaan Gelgel di Bali.
5. Mpu
Kuturan, didalam cerita calon Arang, disebutkan seorang tokoh yaitu Mpu
Kuturan. Beliau hidup di Zaman kerajaan Erlangga. Mpu Kuturan ini memiliki
saudara kandung yaitu Mpu Bharadah.
Kedua Mpu ini adalah penasehat Raja Erlangga.
6. Mpu
Bharadah, adalah adik kandung Mpu Kuturan. Nama Mpu Bharadah sangat harum baik
dalam tulisan – tulisan sejarah kehidupan Agama Hindu di Nusantara. Mpu
Bharadah sendiri pernah datang ke Bali. Hal ini dapat dibuktikan dengan
disebutnya Nama Mpu Bharadah pada Batu bertulis yang terdapat dipura batumadeg di
Besakih tahun 1007.
7. Dang
Hyang Astapaka, adalah Seorang Pandita Budha yang datang dari Majapahit ke
Bali. Beliau menyebrang dari blambangan Jawa Timur dengan mengendarai Perahu menuju daerah Bali Timur. Dalam
perjalanan beliau sempat singgah di pulau Serangan ( di sebelah selatan Pula
Bali) dan kemudian di tempat tersebut didirikan sebuah pura bernama Pura Sakhyana yang berarti tempat Sakhyamuni
atau Budha.
8. Dang
Hyang Markandeya, adalah orang yang Pertama kali datang ke Bali untuk menyebarkan
agama Hindu. Dang Hyang Markandya adalah putra dari Pasangan Sang Mrakanda
dengan Dewi Manaswini, dan merupakan cucu dari sang Niata. Beliau berasal dari
Jawa Timur. Memiliki Pasraman di kaki Gunung Rawung yang sebelumnya melaksanaan
pertapaan digunung raung wilayah sekitar Pegunungan Dieng.
9. Dang
Hyang Dwijendra, adalah seorang Pandita Hindu beliau sangat dihormati di Bali
karena kesuciannya, keunggulan budinya, ketinggian rohaninya, karena jasa –
jasa dan pengabdian beliau terhadap agama Hindu. Memberikan kesejahteraan
rohani dan mengatasi kesengsaraan hidup.
Dang Hyang Dwijendra berasal dari Jawa Timur yakni
Kerajaan Majapahit. Dang Hyang Asmaranata adalah nama ayah beliau. Dang Hyang
Dwijendra dijadikan menantu oleh Danghyang Penataran di Daha. Di Daha Dang
Hyang Dwijendra mengadakan Dharma Yatra (Perjalanan Suci) ke Arah Timur menuju
Pasuruan.
Dang
Hyang Dwijendra sangat terkenal karena pengabdiannya dalam pembinaan umat hindu
di Indonesia terutama di Lombok, Jawa, Bali dan Sumbawa. Hal ini diwujudkan
karena perjalanan Sucinya (Tirta Yatra). Di Bali beliau mendapat gelar Pendeta
Sakti Wauh Rauh dan Dang Hyang Nirata. Di Lombok dengan Gelar Pangeran
Sangupati dan di Sumatra dengan gelar Tuan Semeru. Untuk mengingatkan
Pendalaman Agama beliau mendirikan beberapa Pura diantaranya : Pura Purancak,
Rambut Siwi, Pilaki, Batu Klotok, Mesceti, Ulu Watu, Pati Tenget, Tanah Lot,
Air Jeruk dan Pojok batu. Juga Pura Suranadi di Lombok. Serta sebagai cikal
bakal lahirnya Brahmana Siwa yang ada di Bali. Beliau moksa di pura Ulu Watu,
Badung.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1. Orang Suci adalah manusia yang
memiliki mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani, serta mempunyai
kepekaan untuk menerina getaran-getaran gaib, dalam penampilannya dapat
mewujudkan ketenangan dan penuh welas asih yang di sertai kemurnian lahir dan
batin dalam mengamalkan ajaran agama, tidak terpengaruh oleh gelombang hidup
suka dan duka.
2. Orang suci adalah juga
Pandita dan Pinandita. Berdasarkan sifat yang khas dapat disebutkan karena
kesaktiannya dan kemujizatannya, kesucian perbuatanya serta idealismenya yang
demikian patuh pada fungsinya menyebabkan mereka menjadi orang suci.
3.
Ada empat sifat yang menyebabkan Rsi penting artinya bagi kehidupan umat Hindu
yaitu: Widya atau ilmu, Satya atau kejujuran/kebenaran, Tapa atau pengendalian
diri, Sruta atau penerimaan wahyu.
4.
Di Bali pengertian Orang Suci dipegunakan Pandita dan Pinandita. Pandita dalam
bahasa sangsekerta berarti orang pandai, cendikiawan, bijakssana, sarjana,
sujana. Yang dimaksud dengan pandita adalah pendeta, seorang rohaniawan hindu
yang telah madwijati melalui upacara diksa. Sedangkan Seorang pinandita adalah
seorang rohaniawan hindu tingkat ekajati seperti pemangku.
5.
Ada Tujuh Maha Rsi yang berhasil menerima wahyu Veda dari Ide Sanghyang Widhi
Wasa yaitu : Rsi Grtsamada, Wiswamitra, Wama Dewa, Atri, Bhradwaja, Wasistha,
dan Kanwa.
6.
Selain Sapta Rsi penerima wahyu Veda, ada juga beberapa maha rsi yang dalam
kehidupan agama Hindu dikenal dan disebut – sebut dalam kitab suci karena peran
dan jasanya diantaranya adalah : Bhagawan Bhrgu, Rsi Agastya, Bhagawan
Brhaspati, Mpu Tantular, Mpu Kuturan, Mpu Bharadah, Dang Hyang Astapaka, Dang
Hyang Markandeya, dan Dang Hyang Dwijendra.
1.2 Saran
Para Orang Suci hendaknya selalu
menjaga kesucian dan selalu berperan aktif dalam menyebarkan ajaran Veda, serta
senantiasa selalu ikhlas dalam melayani umat (ngeloka pala sraya).
Bagi seluruh umat Hindu Hendaknya
menghormati dan menjalankan ajaran - ajaran dari Para Orang Suci.
DAFTAR PUSTAKA
Susila, I
Nyoman, DKK. 2009. Acara Agama Hindu.
Jakarta : Departemen Agama RI.
Supriadi, Ida
Bagus. 2004. Buku Pelajaran Agama Hindu.
Surabaya : Paramita
http://blogspot.com/2012/11/orang-suci-Hindu.
(Diakses pada tanggal 20 Oktober 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)