Kamis, 15 Juni 2017

Etika dan Moralitas dalam wisnu purana



NAMA : IGEDE AUGUST KESUMA WIJAYA
NIM     : 14.1.1.1.1054

  Etika dan Moralitas dalam wisnu purana
Dasar etika dan moralitas Hindu adalah keyakinan yang mendalam terhadap kelahiran kembali atau perpindahan roh yang merupakan rangkaian dari ajaran karma, yang menurut ajaran ini setiap perbuatan baik atau buruk akan memperoleh pahala, tidak hanya surge tetapi juga neraka.
Berkontemplasi dapat diartikan sebagai upaya untuk merenungkan secara mendalam dengan kebulatan penuh tentang hakekat seusatu hal. Dalam konteks ini, tentu merenungkan secara mendalam nilai yang terkandung dalam penggalan kisah Itihasa dan Purana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Berkaca pada karakter anak-anak suputra itu, kita dihadapkan pada persoalan idealisme dalam penerapan ajaran yang terkandung di dalamnya. Itihasa merupakan kitab sejarah, sedangkan Purana didominasi oleh mitologi untuk menyampaikan ajaran agama Hindu. Saraswati ( 2009: 251) menyatakan bahwa Purana dapat dikatakan sebagai “Kaca Pembesar” dari Veda karena kitab-kitab tersebut memperbesar citra-citra kecil menjadi gambar-gambar besar. Ajaran Veda yang tercantum dalam pernyataan-pernyataan kecil diperbesar dan dielaborasi dalam bentuk cerita atau anekdot di dalam Purana.
 “Dalam Visnu Purana dikisahkan seorang Raja Bharata penganut Visnu yang sangat setia dan saleh. Pada suatu hari ia mandi di sungai, ketika ia sedang mandi ada seekor kijang yang sedang hamil dating dari hutan belantara pada saat yang sama raungan lantang seekor singa terdengar menggelegar di tempat itu sehingga membuat kijang ketakutan dan meloncat sangat kuat akibatnya bayi yang dikandungnya lahir dan ia sendiri mati. Bharata mengambil anak kijang itu dan membesarkannya ditempat pertapaan. Semenjak memelihara anak kijang itu perhatiannya hanya kepadanya, satu-satunya yang dipikirkan adalah anak kijang itu dan tidak perduli terhadap orang lain. Ketika akhirnya sang Barata meninggal dunia, karena selalu memikirkan anak kijang ia pun terlahir kembali berwujud seekor kijang. Didalam kehidupannya sebagai menjangan dia juga tetap menyembah Sang Hyang Visnu dan mengabdikan dirinya dengan latihan-latihan spiritual dan melakukan pertobatan. Hingga pada kelahiran berikutnya, ia terlahir kembali sebagai seorang putra brahmana yang saleh”.
Adapun pelajaran yang kita dapat petik dari cerita diatas adalah apapun yang kita tanam, itu pula yang akan kita tuai, selain itu perbuatan yang kita lakukan akan menentukan masa depan keturuna kita, seperti dalam cerita di atas. Demikian ajaran moralitas yang bersumber pada ajaran agama, keyakinan tentang karmaphala, baik dan buruk, dan usaha dalam membebaskan diri dari hukum karma pala. Semasih hidup di dunia berbuatlah dengan berbuat yang bisa membantu untuk terhindar dari hukum karma pala, seperti melakukan ajaran agama, mengamalkan ajaran weda dan bisa mengendalikan napsu keduniawian.
     Rama dilukiskan dalam kalimat singkat “Maryadapurusottama” yakni seseorang yang memiliki kebajikan, semua sifat-sifat mulia yang memancar dari pribadinya (Titib, 2011: 152). Sri Rama adalah personifikasi dari kebenaran, kemuliaan, kebaikan, kerendahan hati, dan keberanian. Sebagai seorang putra dari raja yang mulia dan baik, ia mengorbankan kehidupan pribadinya untuk membantu ayahnya memenuhi janjinya kepada istrinya Kekayi. Setelah kepergian Rama ke hutan, Dasaratha semakin menderita hingga ajal menjemputnya. Itu tidak lepas dari perbuatannya di masa lalu ketika ia tidak sengaja membunuh seorang pertapa muda bernama Sravana Kumara. Ia membunuhnya karena mengira ada seekor gajah sedang minum air di sebuah telaga, yang tidak lain adalah pertapa muda itu. Ia dikutuk oleh ayah pertapa itu bahwa ia juga akan mati dengan cara yang sama yakni berpisah dengan anaknya.
Adapun pelajaran yang kita dapat petik dari cerita diatas adalah apapun yang kita perbuat itu yang kita tuai, bahwa perbuatan yang kita lakukan baik buruknya akan kembali kepada kita, baik yang kita perbuat baik juga kita petik, jika buruk perbuatan yang dilakaukan buruk pula yang di petik.
      Sravana Kumara adalah sosok anak suputra. Kedua orang tuanya yang buta menggantungkan hidup mereka kepadanya. Ia menggendong kedua orangtuanya kemanapun mereka ingin pergi, mengunjungi tempat suci dan sebagainya. Hingga kedua orangtuanya memilih untuk mati ketika tau anak kesayangannya telah tewas di tangan Dasaratha.
 Kisah itu memberikan kita gambaran kesetiaan dan pengabdian serta bhakti seorang anak kepada orangtuanya yang buta. Ia sama sekali tidak menelantarkan orangtuanya, bahkan mengabdikan seluruh hidupnya demi orangtuanya.Karakter itulah yang patut diteladani. Terpenting adalah peran orangtua menyampaikan ajaran penuh makna ini kepada anak-anak mereka, karena keluarga adalah pondasi dari pendidikan karakter yang baik.
     2. atur Purusartha
Dalam kitab-kitab Purana juga dibahas mengenai 4 tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Arha terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Dharma sebagai dasar yang kuat dalam ajaran Agama Hindu diulas dalam kitab-kitab Purana. Semua perbuatan baik atau buruk menghasilkan pahala baik dan buruk pula. Semua perbuatan tetunya harus didasarkan pada Dharma itu sendiri agar mendapat pahala yang baik pula, karena di dalam kitab-kitab Purana banyak diuraikan tentang jenis dosa dan hukumannya yang mengerikan. Dalam Visnu Purana tidak ada menjelaskan tentang artha dan kama. Moksa sebagai tujuan terakhir dari Umat Hindu khususnya, sebagai bentuk penyatuan atman dengan paramatman atau Brahman.moksa adalah pembebasan untuk mencapai kebahagiaan sejati atau satcitananda. Ada dua jalan menuju pembebasan ini yaitu melaui yoga atau pertaaan sempurna dan melalui jalan bhakti atau cinta kasih yang murni. Dalam Visnu Purana banyak menguraiakan tentang ajran yoga tersebut. “Kekuatan apapun yang aku miliki ayah, adalah bukan hasil dari ritus-ritus gaib, bukan pula bisa dipisahkan dari sifat-sifatku, ia tidak lebih dari kekuatan yang dimiliki oleh semua yang dalam hatinya bertempat Acyuta (nama lain dari Sang Hyang Visnu). Dia yang bermeditasi, tidak berbuat salah terhdap orang-orang lain, tetapi menganggap mereka sebagai dirinya, bebas dari segala pahala dosa, yang menimbulkan kepedihan kepada orang-orang lain, dengan perbuatan, pikiran, atau ucapan, menaburkan benih kebajikan pada kelahiran yang akan datang, dan buahnya yang dinantikan adalah kebahagiaan”.
3.      Catur Varna
Seperti halnya Purusa Sukta Rgveda yang menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan anatomi masyarakat profesi yang dikenal dengan Catur Varna, maka dalam kitab Visnu Purana juga dijelaskan mengenai hal tersebut. Dalam Visnu Purana menjelaskan tentang Catur Warna yang diciptaka pleh Brahma yaitu Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra serta menyerahkan tugas, kewajiban dan prosedur hukum kepadanya. Dalam visnu Purana dijelaskan bahwa Brahma telah siap sedia melaksanakan ciptaan, mengkonsentrasikan pikiran kepada Paramatma. Pertama yang lahir dari wajahnya adalah manusia dengan kelebihan pada keluhuran budi pekertinya, kemudian diberi nama Brahmana. Selanjutnya muncul dari dadanya manusia yang memiliki sifat-sifat yang menonjol dalam kepahlawanan dan militansi dan diberi nama Ksatrya oleh Brahma. Kemudian dari pahanya lahir manusia dengan sifat rajas dan tamas nya sama-sama dominan, kemudian diberi nama Vaisya dan akhirnya dari kaki Brahma muncul manusia dengan sifat-sifat tamas dan kepadanya diberi nama Sudra. Demikianlah keepat profesi tersebut sudah memiliki tugas dan kewjiban masing-masing, yaitu Brahmana sebagai pemimpin upacara yadnya, mempelajari kitab suci dan menyebarkan ajarannya, Ksatrya sebagai pembela negara, berada di garda depanketika terjadi peperangan, Vaisya sebagai pedagang, dan Sudra yangbertugas melayani ketiga golongan tersebut.

4.      Catur Asrama
Dalam Visnu Purana juga dijelaskan tentang empat tingkatan kehidupa, yang pertama adalah Brahmacarya (masa belajar). Setelah seseorang telah ditasbihkan dengan benang suci maka ia hrus dkirim ke pertapaan guru dan mempelajari Veda. Setiap pagi dan sore melakukan pemujaan terhadap Surya dan Agni dan kepada gurunya. Tidak menentang guru dan mengikuti nasehatnya. Setiap pagi membawakan air dan bunga untuk gurunya. Diakhir masa belajarnya murid harus membayar daksina (balas jasa) kepada gurunya lalu meminta ijin untuk menempuh hidup baru (grhasta). Grhasta adalah waktu untuk menikah dan memilih hidup yang layak. Mereka harus melayani dewa dengan melakukan upacara persembahan, melayani tamu dengan hidangan, para rsi dengan mempelajari Veda, Brahma melalui keturunan dan melayani seluruh dunia dengan kejujuran. Setelah seseorang hidup dalam masa grhasta, maka ia bisa melanjutkan pada tingkat selanjutnya yaitu tahap tinggal di hutan sebagai seorang Vanaprastha. Pergi membawa istrinya atau meninggalkannya pada pengawasan keturunannya. Ia hidup dengan memakan buah-buahan, umbi-umbian, serta dedaunan. Tidur di tanah beralaskan tikar tanpa memotong rambut, jenggot dan kuku. Hanya memuja dewa dan melakukan perenungan. Tahap yang terakhir adalah Sannyasa. Seseorang yang memasuki tahap ini apabila telah mampu melepaskan diri dari ikatan anak, istri dan harta. Tinggal sendirian dan melakukan yoga dan tidak boleh tinggal didesa dan dikota lebih dari 1 hari. Hidup dengan meminta sedekah makanan ke sebuah rumah asalkan ia tahu bahwa seisi rumah telah makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar