NAMA
: IGEDE AUGUST KESUMA WIJAYA
NIM : 14.1.1.1.1054
Etika dan Moralitas dalam wisnu purana
Dasar etika dan moralitas Hindu
adalah keyakinan yang mendalam terhadap kelahiran kembali atau perpindahan roh
yang merupakan rangkaian dari ajaran karma, yang menurut ajaran ini setiap
perbuatan baik atau buruk akan memperoleh pahala, tidak hanya surge tetapi juga
neraka.
Berkontemplasi
dapat diartikan sebagai upaya untuk merenungkan secara mendalam dengan
kebulatan penuh tentang hakekat seusatu hal. Dalam konteks ini, tentu
merenungkan secara mendalam nilai yang terkandung dalam penggalan kisah Itihasa
dan Purana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Berkaca pada
karakter anak-anak suputra itu, kita dihadapkan pada persoalan idealisme dalam
penerapan ajaran yang terkandung di dalamnya. Itihasa merupakan kitab sejarah,
sedangkan Purana didominasi oleh mitologi untuk menyampaikan ajaran agama
Hindu. Saraswati ( 2009: 251) menyatakan bahwa Purana dapat dikatakan sebagai
“Kaca Pembesar” dari Veda karena kitab-kitab tersebut memperbesar citra-citra
kecil menjadi gambar-gambar besar. Ajaran Veda yang tercantum dalam
pernyataan-pernyataan kecil diperbesar dan dielaborasi dalam bentuk cerita atau
anekdot di dalam Purana.
“Dalam Visnu Purana dikisahkan seorang Raja
Bharata penganut Visnu yang sangat setia dan saleh. Pada suatu hari ia mandi di
sungai, ketika ia sedang mandi ada seekor kijang yang sedang hamil dating dari
hutan belantara pada saat yang sama raungan lantang seekor singa terdengar
menggelegar di tempat itu sehingga membuat kijang ketakutan dan meloncat sangat
kuat akibatnya bayi yang dikandungnya lahir dan ia sendiri mati. Bharata
mengambil anak kijang itu dan membesarkannya ditempat pertapaan. Semenjak
memelihara anak kijang itu perhatiannya hanya kepadanya, satu-satunya yang
dipikirkan adalah anak kijang itu dan tidak perduli terhadap orang lain. Ketika
akhirnya sang Barata meninggal dunia, karena selalu memikirkan anak kijang ia
pun terlahir kembali berwujud seekor kijang. Didalam kehidupannya sebagai
menjangan dia juga tetap menyembah Sang Hyang Visnu dan mengabdikan dirinya
dengan latihan-latihan spiritual dan melakukan pertobatan. Hingga pada
kelahiran berikutnya, ia terlahir kembali sebagai seorang putra brahmana yang
saleh”.
Adapun
pelajaran yang kita dapat petik dari cerita diatas adalah apapun yang kita
tanam, itu pula yang akan kita tuai, selain itu perbuatan yang kita lakukan
akan menentukan masa depan keturuna kita, seperti dalam cerita di atas. Demikian ajaran moralitas yang
bersumber pada ajaran agama, keyakinan tentang karmaphala, baik dan buruk, dan
usaha dalam membebaskan diri dari hukum karma pala. Semasih hidup di dunia
berbuatlah dengan berbuat yang bisa membantu untuk terhindar dari hukum karma
pala, seperti melakukan ajaran agama, mengamalkan ajaran weda dan bisa
mengendalikan napsu keduniawian.
Rama dilukiskan dalam kalimat singkat
“Maryadapurusottama” yakni seseorang yang memiliki kebajikan, semua sifat-sifat
mulia yang memancar dari pribadinya (Titib, 2011: 152). Sri Rama adalah
personifikasi dari kebenaran, kemuliaan, kebaikan, kerendahan hati, dan
keberanian. Sebagai seorang putra dari raja yang mulia dan baik, ia
mengorbankan kehidupan pribadinya untuk membantu ayahnya memenuhi janjinya
kepada istrinya Kekayi. Setelah kepergian Rama ke hutan, Dasaratha semakin
menderita hingga ajal menjemputnya. Itu tidak lepas dari perbuatannya di masa
lalu ketika ia tidak sengaja membunuh seorang pertapa muda bernama Sravana
Kumara. Ia membunuhnya karena mengira ada seekor gajah sedang minum air di
sebuah telaga, yang tidak lain adalah pertapa muda itu. Ia dikutuk oleh ayah
pertapa itu bahwa ia juga akan mati dengan cara yang sama yakni berpisah dengan
anaknya.
Adapun pelajaran yang kita dapat petik dari cerita diatas
adalah apapun yang kita perbuat itu yang kita tuai, bahwa perbuatan yang kita
lakukan baik buruknya akan kembali kepada kita, baik yang kita perbuat baik
juga kita petik, jika buruk perbuatan yang dilakaukan buruk pula yang di petik.
Sravana
Kumara adalah sosok anak suputra. Kedua orang tuanya yang buta menggantungkan
hidup mereka kepadanya. Ia menggendong kedua orangtuanya kemanapun mereka ingin
pergi, mengunjungi tempat suci dan sebagainya. Hingga kedua orangtuanya memilih
untuk mati ketika tau anak kesayangannya telah tewas di tangan Dasaratha.
Kisah itu memberikan kita gambaran kesetiaan
dan pengabdian serta bhakti seorang anak kepada orangtuanya yang buta. Ia sama
sekali tidak menelantarkan orangtuanya, bahkan mengabdikan seluruh hidupnya
demi orangtuanya.Karakter itulah yang patut diteladani. Terpenting adalah peran
orangtua menyampaikan ajaran penuh makna ini kepada anak-anak mereka, karena
keluarga adalah pondasi dari pendidikan karakter yang baik.
2. atur
Purusartha
Dalam kitab-kitab Purana juga
dibahas mengenai 4 tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Arha terdiri
dari Dharma, Artha, Kama dan Moksha. Dharma sebagai dasar yang kuat dalam
ajaran Agama Hindu diulas dalam kitab-kitab Purana. Semua perbuatan baik atau
buruk menghasilkan pahala baik dan buruk pula. Semua perbuatan tetunya harus
didasarkan pada Dharma itu sendiri agar mendapat pahala yang baik pula, karena
di dalam kitab-kitab Purana banyak diuraikan tentang jenis dosa dan hukumannya
yang mengerikan. Dalam Visnu Purana tidak ada menjelaskan tentang artha dan
kama. Moksa sebagai tujuan terakhir dari Umat Hindu khususnya, sebagai bentuk
penyatuan atman dengan paramatman atau Brahman.moksa adalah pembebasan untuk
mencapai kebahagiaan sejati atau satcitananda. Ada dua jalan menuju pembebasan
ini yaitu melaui yoga atau pertaaan sempurna dan melalui jalan bhakti atau
cinta kasih yang murni. Dalam Visnu Purana banyak menguraiakan tentang ajran
yoga tersebut. “Kekuatan apapun yang aku miliki ayah, adalah bukan hasil dari
ritus-ritus gaib, bukan pula bisa dipisahkan dari sifat-sifatku, ia tidak lebih
dari kekuatan yang dimiliki oleh semua yang dalam hatinya bertempat Acyuta
(nama lain dari Sang Hyang Visnu). Dia yang bermeditasi, tidak berbuat salah
terhdap orang-orang lain, tetapi menganggap mereka sebagai dirinya, bebas dari
segala pahala dosa, yang menimbulkan kepedihan kepada orang-orang lain, dengan
perbuatan, pikiran, atau ucapan, menaburkan benih kebajikan pada kelahiran yang
akan datang, dan buahnya yang dinantikan adalah kebahagiaan”.
3. Catur Varna
Seperti halnya Purusa Sukta Rgveda
yang menyatakan bahwa Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan anatomi masyarakat
profesi yang dikenal dengan Catur Varna, maka dalam kitab Visnu Purana juga
dijelaskan mengenai hal tersebut. Dalam Visnu Purana menjelaskan tentang Catur
Warna yang diciptaka pleh Brahma yaitu Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra
serta menyerahkan tugas, kewajiban dan prosedur hukum kepadanya. Dalam visnu
Purana dijelaskan bahwa Brahma telah siap sedia melaksanakan ciptaan,
mengkonsentrasikan pikiran kepada Paramatma. Pertama yang lahir dari wajahnya
adalah manusia dengan kelebihan pada keluhuran budi pekertinya, kemudian diberi
nama Brahmana. Selanjutnya muncul dari dadanya manusia yang memiliki
sifat-sifat yang menonjol dalam kepahlawanan dan militansi dan diberi nama
Ksatrya oleh Brahma. Kemudian dari pahanya lahir manusia dengan sifat rajas dan
tamas nya sama-sama dominan, kemudian diberi nama Vaisya dan akhirnya dari kaki
Brahma muncul manusia dengan sifat-sifat tamas dan kepadanya diberi nama Sudra.
Demikianlah keepat profesi tersebut sudah memiliki tugas dan kewjiban
masing-masing, yaitu Brahmana sebagai pemimpin upacara yadnya, mempelajari
kitab suci dan menyebarkan ajarannya, Ksatrya sebagai pembela negara, berada di
garda depanketika terjadi peperangan, Vaisya sebagai pedagang, dan Sudra
yangbertugas melayani ketiga golongan tersebut.
4. Catur Asrama
Dalam Visnu Purana juga dijelaskan
tentang empat tingkatan kehidupa, yang pertama adalah Brahmacarya (masa
belajar). Setelah seseorang telah ditasbihkan dengan benang suci maka ia hrus
dkirim ke pertapaan guru dan mempelajari Veda. Setiap pagi dan sore melakukan
pemujaan terhadap Surya dan Agni dan kepada gurunya. Tidak menentang guru dan
mengikuti nasehatnya. Setiap pagi membawakan air dan bunga untuk gurunya.
Diakhir masa belajarnya murid harus membayar daksina (balas jasa) kepada
gurunya lalu meminta ijin untuk menempuh hidup baru (grhasta). Grhasta adalah
waktu untuk menikah dan memilih hidup yang layak. Mereka harus melayani dewa
dengan melakukan upacara persembahan, melayani tamu dengan hidangan, para rsi
dengan mempelajari Veda, Brahma melalui keturunan dan melayani seluruh dunia
dengan kejujuran. Setelah seseorang hidup dalam masa grhasta, maka ia bisa
melanjutkan pada tingkat selanjutnya yaitu tahap tinggal di hutan sebagai
seorang Vanaprastha. Pergi membawa istrinya atau meninggalkannya pada
pengawasan keturunannya. Ia hidup dengan memakan buah-buahan, umbi-umbian,
serta dedaunan. Tidur di tanah beralaskan tikar tanpa memotong rambut, jenggot
dan kuku. Hanya memuja dewa dan melakukan perenungan. Tahap yang terakhir
adalah Sannyasa. Seseorang yang memasuki tahap ini apabila telah mampu
melepaskan diri dari ikatan anak, istri dan harta. Tinggal sendirian dan
melakukan yoga dan tidak boleh tinggal didesa dan dikota lebih dari 1 hari.
Hidup dengan meminta sedekah makanan ke sebuah rumah asalkan ia tahu bahwa
seisi rumah telah makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar