BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalah
. Perkawinan atau
wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan hidup Grhasta Asrama. Tugas
pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu
kehidupan yang disebut “Yatha Sakti Kayika Dharma” yang artinya dengan
kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar
mempu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini. Kemandirian dan
profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh seorang Hindu yang
ingin menempuh jenjang perkawinan.
Dalam perkawinan ada dua tujuan hidup yang harus dapat
diselesaikan dengan tuntas yaitu mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan
Dharma. Pada tahap persiapan, seseorang yang akan memasuki jenjang perkawinan
amat membutuhkan bimbingan, khususnya agar dapat melakukannya dengan sukses
atau memperkecil rintangan-rintangan yang mungkin. Dalam hal ini saya akan
membahas lebih jelas mengenai perkawinan serta tujuan dari perkawinan itu
menurut agama Hindu
1.2
Rumusan Masalah
1) Apa pengertian serta tujuan dari pewiwahan/perkawinan?
2) Bagaimana urutan prosesi upacara
pewiwahan/perkawinan?
3) Bagaimana system perkawinan serta
jenis banten yang digunakan menurut Hindu?
4) Apa saja syarat sah suatu perkawinan
menurut Hindu?
1.3
Tujuan Penulisan
1) Untuk mengetahui apa itu
perkawinan/pewiwahan serta apa tujuan dari pewiwahan.
2) Untuk mengetahui urutan upacara
pewiwahan/perkawinan.
3) Untuk mengetahui system pernikahan
serta jenis banten yang digunakan
menurut Hindu.
4) Untuk mengetahui syarat sah suatu
pernikahan menurut Hindu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dan Tujuan Perkawinan/Wiwaha
1)
Pengertian Perkawinan/Wiwaha
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.
Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal
katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta
yang berarti pesta pernikahan, perkawinan.
Pengertian pawiwahan secara sistematik dapat
dipandang dari sudut yang berbeda-beda sesuai dengan pedoman yang digunakan.
Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan atau wiwaha dalam Agama Hindu adalah yadnya dan
perbuatan dharma. Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta
Ashram yaitu tahapan kehidupan berumah tangga. dalam adat Hindu di Bali
merupakan upaya untuk mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut
lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut „Yatha
sakti Kayika Dharma“ yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma.
Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma secara
profesional haruslah dipersiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh
jenjang perkawinan.
Wiwaha adalah ikatan suci dan komitment
seumur hidup menjadi suami-istri dan merupakan ikatan sosial yang paling kuat
antara laki laki dan wanita. Wiwaha juga merupakan sebuah cara untuk
meningkatkan perkembangan spiritual. Lelaki dan wanita adalah belahan jiwa,
yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan kembali agar menjadi manusia yang
seutuhnya karena di antara keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Wiwaha
harus berdasarkan pada rasa saling percaya, saling mencintai, saling memberi
dan menerima, dan saling berbagi tanggung jawab secara sama rata, saling
bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan berpisah.
Pawiwahan atau Pernikahan
adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan
telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sarana Pawiwahan berupa Segehan
cacahan warna lima, Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa), Tetabuhan
(air tawar, tuak, arak), Padengan-dengan/pekata-kalaan, Pejati, Tikar dadakan
(tikar kecil yang dibuat dari pandan), Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu,
cabang kayu dadap yang ujungnya berisi periuk, bakul yang berisi uang), Bakul,
Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang
putih.
Rangkaian upacara pawiwahan merupakan pengesahan karena
sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu: Bhuta saksi (upacara mabeakala), Dewa
saksi (upacara natab banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah pamerajan), dan
Manusa saksi (dengan hadirnya prajuru adat, birokrat, dan sanak keluarga/
undangan lainnya). Manusa saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta
Perkawinan,Sesuai dengan Undang-Undang
No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil
kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan.
Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan
perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.
Adapun makna dan lambang dari perkawinan/pawiwahan adalah :
(1) UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah
sesuai hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara
agama yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh
seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah)
karena merupakan titik sentral kekuatan “Kala Bhucari” sebagai penguasa wilayah
madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata “kala” yang
berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu
keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan
pengantin yang biasa disebut dalam “sebel kandel”.
(2) Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir
(nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk
merubah menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan
dari Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang
Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan
perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih
yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki
dan wanita (ovum) dari pengantin wanita. Peralatan upacara Mekala-kalaan adalah
sebagai berikut :
Adapun jenis dari pernikahan atau pewiwahan yaitu : Dalam
Kitab Suci Hindu Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:
(1) Brahma
Wiwaha:
perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya kepada pria
yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua gadis. (Manawa
Dharmasastra Bab III.27)
(2) Dewa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak
gadisnya kepada pria yang telah berjasa (non material) kepadanya. (Manawa
Dharmasastra Bab III.28)
(3) Arsa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak
gadisnya kepada pria yang memberikan sesuatu (material) kepadanya. (Manawa
Dharmasastra Bab III.29)
(4) Prajapatya Wiwaha: perkawinan yang direstui kedua
pihak baik dari keluarga laki maupun keluarga wanita. (Manawa Dharmasastra Bab
III.30)
(5) Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika
mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta
sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
(6) Gandharwa wiwaha: perkawinan atas dasar saling
mencinta di mana salah satu atau kedua pihak orang tua tidak turut campur,
walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra Bab III.32)
(7) Raksasa Wiwaha adalah bentuk perkawinan dimana si
pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
(8) Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila
seorang laki-laki dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan
cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang
2)
Tujuan Perkawinan/wiwaha
(1) Tujuan pokok perkawinan adalah
terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang
oleh unsur-unsur material dan non material.
(2) Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang,
pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha).
(3) Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi
(yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak,
adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi
sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).
Kitab
Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha meliputi:
(1) Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan
merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai
dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan:
Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur
Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa,
yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna
dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin/.
(2) Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan
yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda
kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan /
pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan
untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia.
Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas
melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka
dapat mencapai Nirwana.
(3) Rati yang berarti pernikahan adalah
jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan
kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan
dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju
spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu.
Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna
memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka
memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan
“Ri
sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha
asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma
pahalaning dadi wang”
artinya:
dari
demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu
saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk
ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma
sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna.
Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang
sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat
dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan
melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap
pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan
dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan
proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat
Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96
sebagai berikut:
“Prnja nartha striyah srstah samtarnartham
ca manavah.
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya
sahaditah”
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan
untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu
ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam
agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1
yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga
( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana
diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga
yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam
kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh
parah”
“Hendaknya
supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu
kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya
laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya
melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” .
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama
Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar
perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi
pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka
kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam
kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai
dhruwam”
“Pada
keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri
terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha
menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang
tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta
keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa)
2.2 Urutan Prosesi
Perkawinan/Pewiwahan
Urutan
upacara Pernikahan meliputi :
Upacara
di rumah pengantin wanita :
1)
Masewaka/Malamar
2)
Madik/Meminang
3)
Mabeakala
4)
Mapamit di merajan/sanggah
Upacara
di rumah pengantin lelaki :
1)
Mareresik
2)
Mapiuning di Sanggar Surya
3)
Upacara Suddhi-wadhani
4)
Mabeakala
5)
Mapadamel
6)
Matapak oleh kedua orang tua
7)
Majaya-jaya
8)
Ngaturang ayaban
9)
Natab peras sadampati
10)
Pemuspaan
11)
Nunas wangsuhpada/bija
2.3 Sistem Perkawinan serta Jenis Banten yang Digunakan
1) Sistem Perkawinan
Adapun Sistem pawiwahan Menurut agama
Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan
sebagai berikut:
(1) Brahma wiwaha adalah bentuk
perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria
ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
(2) Daiwa
wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan
seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
(3) Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak
timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan
menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
(4) Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri
oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan
restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi
penghormatan kepada mempelai laki-laki.
(5) Asuri
wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima
wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh
pihak wanita.
(6) Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan
cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin
tahu.
(7) Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa
wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
(8) Paisaca
wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan
diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga
mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
2) Jenis Banten yang
Digunakan
(1)
Banten Pedengen-dengenan (pekala-kalaan) yang terdiri dari :
Peras, ajuman, daksina, suci dengan ikatannya telur itik
yang direbus, tipat kelanan, sesayut pengambeyan, penyeneng, tulung, sanggah
urip, pemugbug, (tumpeng kecil 5 buah dialasi dengan kulit sesayut, raka-raka
dan lauk-pauk), untek 7 buah (dialasi dengan taledan dilengkapi dengan raka-raka
dan lauk-pauk), solasan 22 tanding, penek warna 5 dialasi daun telunjungan
ikannya olahan ayam brumbun, dan kulit dari ayam tersebut ditaruh diatasnya
dilengkapi kewangen. Kemudian dilengkapi dengan pabyakalaan, prayascita, lis,
gelar sanga, tetabuhan dan beberapa perlengkapan seperti (Agastya, 2000 : 239)
:
a.
Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu
lalung dan disebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi berem.
Sanggah Surya merupakan niyasa (symbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal
ini merupakan stananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang
Semara Ratih.
Biyu lalung adalah symbol kekuatan purusa dari Snag Hyang
Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya,
sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan symbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem symbol kekuatan prakertinya Sang Hyang
Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta
kebijaksanaan symbol pengantin wanita.
b. Kelabang
Kala Nareswari (Kala Badeg)
simbol calon pengantin, yang
diletakkan sebagai alas upakara makala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon
pengantin.
c.
Tikeh Dadakan (Tikar Kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh
pengantin wanita sebagai symbol selaput dara dari wanita. Kalau dipandang dari
sudut spiritual, tikeh dadakan adalah sebagai symbol kekuatan Sang Hyang
Prakerti (kekuatan Yoni). Tikeh ini adalah symbol kesucian si gadis.
d. Keris
Keris sebagai kekuatan Sang Hyang
Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris,
dipandang dari sisi spiritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
e. Benang
Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang
putih sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu,
serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap
setinggi 30 cm. angka 12 berarti symbol dari sebel 12 hari, yang diambol dari
cerita dihukumnya pendawa oleh Kuruwa selama 12 tahun. Dengan upacara
makala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kendalan menjadi
sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai
symbol dari lapisan kehidiupan berarti sang pengantin telah siap untuk
meningkatkan alam kehidupannya dari Brahmacari Asrama menuju Grhasta Asrama.
f.
Tegen-tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan symbol
dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Perangkat
tegen-tegenan :
a) Batang tebu berarti hidup pengantin
artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
b) Cangkul sebagai symbol Ardha Candra.
Cangkul sebagai alat bekerja berkarma berdasarkan Dharma.
c) Periuk symbol windhu.
d) Buah kelapa symbol brahma (Sang Hyang Widhi).
e) Seekor yuyu symbol bahasa isyarat
memohon keturunan dan kerahayuan.
g.
Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi
talas, kunir, beras, dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri
mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan
talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
h.
Dagang-dagangan
Melambangkan
kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung
segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar
penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
i.
Sapu Lidi (3 lebih)
Symbol
Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain,
isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan
kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik, dan
pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan
dan kehidupan rumah tangga.
j.
Sambuk Kupakan atau Kala Sepetan
Serabut
kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup
kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut
kelapa dibelah tiga symbol dari Tri guna (satwam, rajas dan tamas). Benang
Tridatu symbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) mengisyaratkan kesucian.
Telor bebek symbol manic. Mempelai saling tending serabut kelapa sebanyak tiga
kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Apabila
mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di
masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri,
agar kekuatan Tri Guna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kelapa ini
diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
k.
Tetimpug
Bambu
tiga batang yang di bakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan
dari Sang Hyang Brahma.
Setelah upacara makala-kalaan selesai dilanjutkan dengan
cara membersihkan diri hal itu disebut dengan “angelus wimoha” yang berarti
melaksanakan perubahan nyomia bhuta kala Nareswari agar menjadi Sang Hyang
Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih agar harapan dari perkawinan ini bisa
lahir anak yang suputra.
(2) Carun Patemon yang terletak di jalan
Nasi
dialasi bakul, ikannya karangan babi (atau yang lain), nasi yang digulung
dengan “upih” (daun), dilengkapi dengan bunga cempaka 2 buah canang buratwangi,
sesari 25 dan tetabuhan. Banten ini dihaturkan kehadapan Sang Hyang Bhuta Hulu
Lembu, Sang Bhuta Harta dan Sang Bhuta Kilang-Kilung.
(3) Carun Patemon yang terletak di atas pintu
Nasi
takilan ikannya darah mentah dialasi limas (tangkih, bawang, jae, dan garam.
Banten ini dihaturkan kehadapan : Sang Bhuta Pila-Pilu, SangHyang Sasarudira,
SangHyang Muladrawa, Sanghyang Ragapanguwus, Kaki Rangga-ulung dan Kaki Rangga
tan kewuh.
(4) Banten Pejati (Jauman)
Peras,
ajuman, daksina, suci ikannya itik diguling, tipat kelanan, bantal, jaja kukus,
dan beberapa jenis jajan lainnya, dilengkapi dengan sirih, pinang, tembakau,
gambir, rantasan-saparadeg, kadang-kadang dilengkapi dengan 2 buah tumpeng
lengkap dengan guling babi. Banten ini dihaturkan di Sanggah Kamulan, kemudian
diserahkan kepada orang tua si gadis (Agastya, 2000 : 240).
2.4 Syarat Sah suatu Perkawinan menurut Hindu
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab
Suci Manava Dharmasastra maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin
dan administrasi, sebagai berikut:
1) Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan
harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin
kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan
paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah
meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan
darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang
harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang
berbunyi:
“Adbhirewa
dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam
tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian
anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air
suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan
dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
2) Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut
tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
Minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka
diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut
dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun
seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal
bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon
suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun
setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan
dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka
tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru
dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan
Budha, 2001: 34).
3) Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11
Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan
harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada
hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan
upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda,
keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit
wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
4) Selain itu persayaratan administrasi
untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain:
surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul,
surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan
baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan
domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu
Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu
dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi
oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih
karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah
carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya
dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara
kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala
dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia”.
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara )
tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam
masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu
dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun
temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara
dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat,
maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut
dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti
smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha
kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena
orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan
mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan
setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”.
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab
suci maupun adat istiadat maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon
pengantin harus sudah dalam satu agama Hindu dan jika belum sama maka perlu
dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu menurut kitab Yajur Veda II. 60
dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara,
sebagai berikut:
(1)
Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan)
simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam
berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya
menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
(2)
Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan
adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat
untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa
( sejenis selendang) dengan cara ujung kain masing-masing diletakkan pada
masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.
(3)
Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti
untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
(4)
Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya
dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab
suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña
tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu
keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya
sebagai pajangan biasa.
(5)
Lascarya artinya suatu yajña yang
dilakukan dengan penuh keiklasan.
(6)
Sastra artinya suatu yajña harus
dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam
pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal
ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
(7)
Daksina artinya adanya suatu penghormatan
dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas
kepada pendeta yang memimpin upacara.
(8)
Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yajña
harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
(9)
Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara
yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.
(10) Nasmita artinya suatu upacara yajña
hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
semua penjelasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagi
berikut :
1)
Pengertian pawiwahan secara
sistematik dapat dipandang dari sudut yang berbeda-beda sesuai dengan pedoman
yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2) Tujuan wiwaha menurut agama
Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan
menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang
bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
3) Urutan Prosesi perkawinan meliputi
upacara di rumah pengantin wanita (masewaka/malamar, madik/meminang, mabeakala,
mapamit di merajan/sanggah) dan upacara dirumah pengantin lelaki (mareresik,
mapiuning di sanggar surya, upacara suddhi-wadhani, mabeakala, mapadamel,
matapak oleh kedua orang tua, majaya-jaya, ngaturang ayaban, natab peras
sadampati, pemuspaan, nunas wangsuhpada/bija).
4) System perkawinan menurut Hindu
dalam kitab Manava Dharmasastra III.21 bentuk perkawinana meliputi Brahma
wiwaha,Daiwa wiwaha, Arsa wiwaha, prajapatya wiwaha, Asuri wiwaha, dan
Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, Paisaca wiwaha. Adapun jenis banten dalam
perkawinan yaitu Banten pedengen-dengenan (pekala-kalaan), carun patemon yang
terletak di jalan, carun patemon yang terletak di atas pintu, dan banten pejati
(Jauman).
3.2 Saran
Diharapkan kepada semua pihak yang
membaca makalah ini, agar kiranya dapat menjadikan sebagai salah satu rujukan
yang sifatnya membangun dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Orang bijak
mengatakan bahwa manusia perlu berfikir untuk mengetahui siapa dirinya dan
kemana arah tujuan perjalanan hidupnya, sehingga tidak hanya berfikir secara
materialistik dan hedonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar